Air Mata Terakhir.
Seberkas cahaya mentari menyusup ke dalam hatiku yang gelap dan tak terjangkau ini.Tak ada kata yang dapat terucap kala takdir berbicara.Hanya Allah yang dapat menentukan takdir tapi aku tetap berusaha, berdoa, dan bersabar agar diriku tak putus asa dalam perjalanan hidup yang panjang ini.Aku selalu mencoba terima kenyataan, walau sebenarnya hati ini tak bisa terima.
Sepinya malam ini tak mampu mewakili betapa sepinya hatiku.Meski aku tak dapat memandang bulan, namun dapat kurasakan bahwa ia mengasihaniku.Tapi aku bukan gadis buta yang ingin dikasihani.
Aku, ha…ha…aku seorang gadis lemot tanpa tujuan.Kujalani hari-hariku di tempat yang kubenci, seperti sekolah.Yah, sekolah adalah tempat di mana seharusnya aku tak berada.Ayahku memaksaku sekolah di SMA Negeri, agar ia dapat berfoya-foya dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku.Kasihan Ibu di alam
Pahit memang hidupku, Ayahku pria super jahat walaupun juga pria mapan! Tapi, dia tak mapan dalam dunia keluarga.Ibuku meninggal karena perbuatan keji Ayahku.Aku hampir ingin membunuhnya, tapi bagiku itu sia-sia saja, karena meskipun itu kulakukan, toh Ibu juga tidak akan kembali.
Hari-hari kujalani dengan cacian, hinaan, dan makian.Teman-temanku menjauhiku, hanya karena fisikku dan perbuatan bejat Ayah.Kapan dia sadar? Setiap hari, dia selalu memukulku, membentakku, dan menghinaku.Meskipun Ayah telah membunuh Ibuku dan memasukkanku ke SMA Negeri, itu bisa kumaafkan.Tapi, membuat mataku buta agar aku tak melihat kelakuannya adalah hal yang tak mungkin bisa kumaafkan. Rupanya dia ingin aku hidup dalam penderitaan seumur hidup dengan dihina setiap hari. Alangkah baiknya jika aku bersekolah di tempat yang tepat, tapi dia malah menyekolahkanku di tempat di mana orang-orang mampu untuk menghinaku.Tanpa disadari, air mataku bercucuran, meski aku tau bahwa air mata ini tak mampu menghapus kesedihanku.
“Assalamualaikum, jadi kamu menangis lagi ya? Nih, pakai sapu tangan ini untuk menghapus air matamu.Nanti, kalau sudah selesai menangis, buang sapu tangannya ya? Soalnya sapu tangan itu basah dengan air mata kebencian…” kata seseorang yang suaranya serak-serak basah.Aku yakin, dia seorang lelaki, tapi dari suaranya dia bukan temanku karena aku tak pernah mendengar suara itu di kelas.
Kucoba mengusap airmataku, aku menangis sejadi-jadinya seperti yang disuruh lelaki itu.Kemudian, aku mengepal sapu tangan itu dan membuangnya.Matahatiku pun melihat sapu tangan itu terbang dengan membawa segala kebencianku.
“Eh…” bisikku legah.Entah mengapa aku merasa plong.Aku yakin ini karena kata-kata lelaki itu, tapi suaranya sudah samar-samar di telingaku.Aku lupa gaya bicaranya, aku lupa suara langkah kakinya, dan aku lupa aroma tubuhnya.Padahal, hanya dia yang mau bicara denganku.
Kujalani hari-hari yang sepi, sunyi dan sendiri.Meski tlah kucoba tuk tetap bersabar, bertahan dan berusaha, hinaan dari teman-teman sekelasku selalu mematahkan semangatku dan terkadang ingin membuatku tuk mengakhiri hidup.
Kudengar suara-suara tertawaan dari anak-anak yang bermain bola api di sebelah rumahku.Mereka bercanda gurau, berteriak menuntun teman-teman mereka, dan mereka berusaha untuk memasukkan bola ke dalam gawang.Aku tak mengerti hidup yang kujalani, dan lagi-lagi kukeluarkan airmataku tuk yang kesekiankali.Namun malam tetap hanya membuatku semakin terjerit.
***
Yah, hari ini aku ke sekolah lagi, untuk mendapatkan hinaan.Belum sampai aku menginjakkan kaki ke kelas, tertawaan dari teman-temanku sudah mendera.Aku hanya bisa diam.Apa yang bisa kulakukan? Menangis, itulah satu-satunya hal yang dapat kulakukan.
“Semangat…semangat…Adinda,” kataku dalam hati.
Kemudian, kupejamkan mataku, legah rasanya, tapi aku menjadi gugup ketika kudengar langkah kaki menuju diriku.Aku berusaha membuka mata yang lelah ini, meski betapapun besarnya aku membuka mata, aku takkan bisa melihat seperti dulu lagi.
“Astagfirullah…” kataku lagi ketika melihat seorang lelaki tampan sedang memerhatikanku dan duduk di sampingku.Aku terkejut karena bisa melihat lelaki itu, tapi yang membuatku tak dapat berpikir secara logis adalah di sekelilingku hanya ada ruang hitam.
“Bagaimana, apakah dengan sapu tangan itu kamu dapat merasakan suatu kenyamanan?” tanyanya padaku.
Aku mengangguk dan kupalingkan pandanganku dengan segera, lalu meninggalkannya.
“Tunggu, aku hanya meminta satu darimu! Apakah aku dapat menjadi teman disetiap langkahmu? Hanya aku yang dapat kau lihat, dan aku yakin jika aku berada di sampingmu, kau akan merasakan indahnya dunia!” kata lelaki itu kepadaku.Langkahku terhenti mendengar kata-katanya yang menusuk hati.Sungguh aku tak menyangka dia dapat membaca isi hatiku.Ada rasa gembira dalam hatiku, tapi aku mencoba tuk menepisnya karena aku tak ingin terjebak dalam harapan yang nantinya akan membuatku menangis juga.Aku menggeleng, namun ketika aku membalikkan badan tuk melihatnya, dia sudah tak ada.
Kujalani hari-hariku seperti biasa tanpa teman-teman yang menemaniku dan tanpa orangtua yang memerhatikanku saat aku pulang sekolah.Aku memang sudah terbiasa dengan hidupku yang tanpa arah dan tujuan ini, setiap hari aku hanya bisa menyendiri di pinggir kamar kecil.Aku selalu berusaha untuk tidak menangis, tapi seperti biasa, hari ini aku mengeluarkan airmata kebencian itu lagi.Aku benci dengan dirirku yang cengeng ini, ya Allah…
“Ini, pakai sapu tangan ini, semoga dengan sapu tangan ini, kamu bisa mengerti tentang apa yang diberikan Allah kepadamu bukan musibah dan bukan sesuatu yang perlu ditangisi.Aku tau kau tak akan mau menerimaku, tapi pakailah ini, karena setelah ini akan banyak yang akan menemanimu,” kata laki-laki itu secara tiba-tiba.Aku heran, mengapa lelaki itu selalu datang secara tiba-tiba dan pergi secara tiba-tiba juga.
Ku coba mengias semua pikiranku dan kuusap mataku yang semakin membengkak.Aku harap, sapu tangan pemberiannya yang kedua kali untukku ini bisa memusnahkan semua kebencianku juga rasa cinta yang tanpa kusadari telah tumbuh.
Aku meraba tongkatku yang ada di sampingku.Tapi tiba-tiba saja tongkat itu tidak ada, aku bingung karena tanpa tongkat itu aku tidak akan bisa meraba jalan hidupku.
“Aduh…Adinda, kamu ngapain di sini sih? Kamu nyari tongkat? Nih, tongkatnya. Sini, biar aku Bantu, temen-temen semua udah pada nungguin kamu.Bentar lagi kita mau foto bareng buat perpisahan makanya cepet yuk,” ajak Mitha padaku.Aku heran melihat tingkahnya yang baik padaku.Selama ini, Mitha lah yang paling bersemangat menghinaku.Mitha terus saja berbicara padaku.Setiap kalimat yang diucapkannya seperti mengkhawatirkanku, tangannya pun terasa hangat menyentuhku.Ketika sampai, aku disambut teman-teman sekelasku.Semua memanggilku, semua mengkhawatirkanku, dan semua memelukku.Airmataku pun keluar begitu saja.Sampai-sampai, tak terdengar bunyi tetesannya karena suara teman-temanku yang ribut menyambutku.
Dalam setitik cahaya yang terang, kulihat sosok itu lagi.Ia tersenyum padaku, mataku pun terus memerhatikannya hingga ia lenyap.Ia lenyap bak angin yang tak akan datang padaku lagi.
***
Hari ini benar-benar hari yang paling ajaib yang pernah kujalani.Semuanya berubah, kuambil kertas dan pulpen.Kutulis semua yang telah kualami.Sudah kudapatkan senyuman yang selama ini terbelenggu dalam palung hatiku. Dan semua ini berkat laki-laki itu, tapi tentu saja dengan izin Allah.
Pulpenku terjatuh begitu saja bertepatan dengan selesainya cerita yang membuatku tersenyum ini.Kertas yang kutulis terbang melayang ke arah cahaya yang begitu terang.Cahaya itu semakin lama semakin mendekat, kulihat seorang laki-laki datang mendekatiku dengan membawa kertas yang kutulis tadi.Ia tersenyum tanpa henti.Sedang aku terus batuk, di mulutku darah terus saja keluar.Kudengar bunyi mobil polisi di lantai bawah.Ayah, Ayah akhirnya tertangkap, suara teriakan Ayah kudengar tapi dia terus tak mengakui perbuatannya selama ini.
“Aku hanya bayanganmu yang akan selalu menemanimmu, setiap tetes airmata keluar dari pelupuk matamu, aku akan datang menemanimu.Aku adalah hal yang paling berharga dalam hidupmu.Tapi aku punya perasaan yang sama denganmu, dan perasaanku sama dengan perasaanmu.Maka dari itu, jangan merasa bahwa kau dijauhi,” kata lelaki itu.Cahaya pun mulai menghilang dari pandangankku.Seiring dengan hilangnya cahaya itu, rasa nyeri di dada kiriku semakin terasa.Kuucapkan dua kalimat syahadat untuk yang terakhir kalinya.Kupejamkan mataku seiring dengan batuk yang mengeluarkan darah.Aku tersenyum dan berdo’a semoga dosa Ayah bisa diampuni, termasuk dosanya yang telah membunuh Isteri dan Anaknya sendiri dengan pisau.Aku terbaring dan meneteskan air mata.Dalam heningnya malam dan ditemani oleh bintang-bintang yang bertaburan, aku merasa hangat dengan berselimutkan malam.
0 komentar:
Posting Komentar