BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 14 November 2009

cerpen cinta nch

Bunga Lili Yang Merekah

“Li, dia merhatiin kamu tuh,” goda Sela padaku.
“Ah, yang bener? Paling dia cuman mau nyari tahu kenapa dari tadi aku ngeliatin dia,” jawabku sambil melayangkan pandangan pada Raka.
“Ehem…, kayaknya dua hati jadi satu nich,” ejek Sela lagi.
“Apaan sih.Kamu nggak tau apa-apa Sel.Nggak mungkin, Raka suka sama aku. Dia ‘kan nggak kenal aku.Aku juga nggak kenal dia.Yang kutahu, cuman nama dan rumahnya.Lebih dari itu, aku nggak tahu apa-apa,” belaku sambil melayangkan pandangan pada objek lain setelah aku melihat Raka yang benar-benar memerhatikanku.
“Li, lihat tuh.Raka udah mau balik.Coba perhatiin! Kayaknya dia masih ngeliatin kamu tuh.Li, Lili, Raka udah balik tuh!” desak Sela padaku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.
Aku sempat melihat Raka dengan kakaknya menuju ke parkiran kendaraan. Kuakui memang Raka masih saja melihat ke arahku.Tapi bagiku, itu tak cukup untuk membuktikan bahwa perasaanku pada Raka yang tumbuh sejak tiga tahun lalu itu tak bertepuk sebelah tangan.
“Yah…, Lili.Tuh, Raka balik ‘kan?”
“Ya nggak apa-apa ‘kan? Itu haknya dia.Dia mau balik kapanpun dan di manapun, itu hak sepenuhnya dia,” jawabku sambil menutupi kekecewaan lantaran hari ini, aku menyia-nyiakan kesempatan langka untuk bicara dengan Raka.
“Li, aku nggak ngerti apa yang ada dipikiranmu.”
“Udah ah Sel, kita pulang yuk.Lagian, kayaknya aku nggak mau beli apa-apa. Udah yuk,”
“Ya iyalah, tujuan kamu ke pasar sore ini ‘kan, supaya ketemu Raka?”
“Udah ah! Pulang yuk.”
“Ya, iya…”
Aku dan Sela langsung pulang.Aku hanya bisa membungkam mulutku.Padahal, aku berharap agar Raka mau bicara padaku duluan waktu kami berpapasan tadi.Aku memang terlalu sombong untuk negur dia duluan.Sebenarnya, bukan sombong, tapi setiap ketemu Raka, aku nggak bisa ngomong satu katapun.Itulah sebabnya, aku nggak mau bicara duluan pada Raka.Lagipula,aku termasuk tipe cewek yang punya level jual mahal cukup tinggi.
“Hah…, sabtu yang melelahkan,” gumamku dalam hati sambil mencuci wajahku di kamar mandi.
“Nggak makan Li,” tawar ibu saat aku melintas di ruang makan.
“Ngaak Bu, Lili udah kenyang.”
“Kak Lili ‘kan udah makan di pasar Bu,” sahut Arie, adikku.
Aku tak memberikan komentar dan langsung mengambil langkah seribu menuju kamar.Kulirik jam yang bergantung di kamarku.Sudah hampir jam setengah sembilan. Biasanya, malam minggu seperti ini, aku sudah bermimpi di tempat tidurku yang empuk. Baru saja aku merebahkan tubuhku, tiba-tiba saja handphoneku berdering.Hm…, siapa sih yang nelepon malam-malam begini? Tanyaku dalam hati.
“Halo!” ujarku singkat.
“Halo, apa kabar Aya? Lama nggak ngobrol ya? Kamu baik-baik saja ‘kan?” sahut suara di seberang seakan telah mengenalku.
Hm…, orang aneh.Siapa yang bernama Aya?
“Maaf, namaku bukan Aya.Aku Lili.Kamu salah sambung!” kataku cepat sambil menekan tombol akhiri di handphoneku.
Sambil berbaring, aku berpikir, kayaknya aku kenal suara itu.Suaranya lembut, meski aku jarang mendengar suara itu, tapi aku yakin aku mengenalnya.Tapi, peduli amat! Siapa suruh memangil namaku sembarangan.
Sudah pukul setengah sembilan.Pikiranku masih terpaku pada telepon misterius tadi.Aku benar-benar penasaran.Rasanya, aku kenal betul suara itu.Tapi siapa?
“Hah…, sudahlah.Lupakan saja,” bisikku, lembut.
“Raka, apa yang menarik darimu?” lanjutku lagi sambil memeluk guling.Dan aku mulai menjelajahi memoriku pada saat aku pertama bertemu Raka.
Waktu itu, aku duduk di kelas dua SMP.Aku mengikuti seleksi ekskul kesenian bagian menggambar.Kebetulan, waktu menggambar sketsa, aku bersama Raka dan Bobby memilih pergi ke belakang sekolah tepatnya di ladang Lili untuk mencari inspirasi.
“Bunganya indah ya Kak,” sapa Raka yang kebetulan duduk di sebelahku.
“Ya, kebetulan, bunga lilinya sedang mekar,” jawabku sambil melepaskan pandangan ke ladang lili yang bermekaran.
“Gambar Kakak bagus ya,” puji Raka sambil menunjuk gambarku.
“Oh ya? Tapi ini kan belum jadi?”
“Gambar bunga lili ya? Cantik.Secantik bunga aslinya dan tentu saja secantik Kak Aya.”
“Ehem…, kok aku dicuekkin sih!” celetuk Bobby tanpa melayangkan pandangan pada kami.
“Hah, ganggu aja kamu Bob!” jawab Raka sambil memainkan bibirnya tanda ia merasa kesal.
“Iya… iya, maaf deh Ra! Bilang aja kalau kamu lagi meluncurkan jurus terjitumu buat Kak Aya, ‘kan?” ejek Bobby.Aku hanya tersenyum melihat tingakah mereka berdua. Bagiku, Raka dan Bobby sudah kuanggap sebagai adikku.Tentu saja, mereka kan adik kelasku.
“Em…, Kak, Kakak udah punya pacar belum?” Tanya Raka sambil menatapku dalam-dalam.Pertanyaan itu membuatku sedikit penasaran.
“Ah, sudahlah, lupakan saja pertanyaan konyol itu,” jawabnya sambil tersenyum dan meninggalkanku.
Senyumannya yang misterius itu membuatku gelisah.Apa artinya itu? Mungkinkah dia menyukaiku? Tapi di lebih muda dariku.Namun aku tak bisa menyangkal, karena ternyata, perasaanku berawal dari sana.
Tunggu dulu, suara itu, aku ingat.Suara itu adalah suara Raka.Aku pun baru ingat, dulu waktu aku pertama kali kenal Raka dan Bobby, mereka memanggilku Kak Aya. Hah, bodohnya aku.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera bangkit dan mengambil handphoneku untuk membuka panggilan masuk.Kebetulan, hari ini aku hanya dapat satu panggilan masuk.Tapi sial, nomornya disembunyikan.
“No name? Private number? Hah… sial.Kenapa aku jawab salah sambung? Bodoooooh,” gumamku sambil menerawang langit-langit kamarku.
*
“Minggu yang membosankan!” jeritku dalam hati seraya melepaskan pandangan ke langit yang merah membara, karena sebentar lagi matahari akan menaiki tangga menuju singgasananya.Pikiranku kembali tertuju pada saat aku menyukai Raka.Semenjak ada yang menyebarkan gossip bahwa aku menyukainya, aku mulai menjauhinya meskipun semua orang tahu bahwa perasaanku tak bertepuk sebelah tangan.Hanya saja, aku sangat malu bila Raka tahu aku menyukainya.Dan aku, selalu menghindarinya selama dua tahun sampai aku lulus.Setelah lulus, aku jarang bertemu dengannya.Hal ini tentu membuatku merasa sepi.Dan saat itu aku mulai sadar ternyata, aku mengharapkannya.
Lantunan lagu ”Because You Loved Me” menyadarkanku dari lamunanku.Sms, di pagi buta begini? Pikirku sambil membukanya.
“Halo Li, masih ingat aku ‘kan? Aku Risa, teman seSMPmu dulu.Hari ini kita ketemu di ladang lili belakang SMP! Kutunggu jam empat sore!” begitu yang tertulis di layar handphoneku.Aku sedikit kaget karena tak biasanya Risa mengajakku ketemu.Tanpa merasa curiga, aku memenuhi ajakannya.
*
Hm…, ladang lili memang tempat terbaik yang pernah kulihat.Tapi, aku nggak lihat Risa.Yang ada, Raka yang bergerak mendekatiku.Aku sempat mau lari, tapi dia keburu memanggilku.Kamipun berjabat tangan saat bertatap muka.Raka tampak lebih tinggi dan cakep ketika dilihat dari dekat.
“Rupanya, kamu datang ya Li?” sapanya, lembut.
“Hai, em, aku butuh waktu semalaman untuk ngingat suaramu.Sorry ya, kemarin nada suaraku agak kasar,”
“Nggak apa-apa.Oh iya, Kak Risa nggak jadi datang.”
“Oh, jadi tadi kamu ketemu dia ya? Tapi kenapa nggak jadi datang?”
“So…soalnya, yang sms kamu tadi pagi, itu aku Li,” kata Raka sambil menundukkan kepalanya.Tapi, aku merasa aneh.Biasanya, dia manggil aku pakai sebutan Kakak.Tapi sekarang, dia manggil aku seolah aku seumuran dia.
“Kamu? Tapi kenapa?”
“Aku…aku mau nunjukkin ini ke kamu Li,” tunjuknya sambil memberiku bunga lili.
“Ini, untuk kamu Li,”
“Untuk apa?”
“Bunga Lili ini cantik, secantik kamu Li.Aku cuman mau bilang kalau kamu terlihat sempurna di mataku, lewat bunga Lili ini.”
Aku mulai merasa bersalah dengan ucapan Raka yang udah menunjukkan keseriusannya.
“Sudahlah, nggak usah dipikirin.Akulah yang salah.Selama ini aku nggak mau berterus terang.Li, sejak aku masuk SMP, dan sekarang udah mau masuk SMA, satu-satunya cewek yang bikin aku jatuh cinta, cuman kamu Li.Waktu kamu ngindar saat aku usaha buat ngedeketin kamu, aku sebel banget.Aku selalu berpikir, kenapa sih, kok kamu nggak pernah ngerti kalau selama ini, orang yang bisa bikin aku bahagia cuman kamu,” ungkap Raka dengan suaranya yang mulai serak.
Mendengar pengakuan Raka, aku jadi terharu.Untuk pertama kalinya, Ia mau berterus terang tentang perasaannya.Di hamparan bunga Lili, aku dan Raka menjelaskan semua yang tersembunyi diantara kami.
“Akhirnya, penantianku selama ini membuahkan hasil,” pikirku dalam hati.

0 komentar: